Minggu, 13 Desember 2015

Pajak Penghasilan (PPh) 21,22,23,24,25 dan 26

A. Pengertian PPh Pasal 21 
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
Tarif PTKP terbaru selama setahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:

  • Rp 36.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi dan istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. 
  • Rp 3.000.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  • Rp 3.000.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 rang untuk setiap keluarga.

PTKP Terbaru Berlaku Sejak 2015 

Berdasarkan Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak, meskipun diundangkan pada tanggal 29 Juni 2015, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mulai berlaku sejak tahun pajak 2015, sehingga menimbulkan konsekuensi sebagai berikut:
  1. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP terbaru.
  2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP terbaru.
Kelebihan setor akibat pembetulan perhitungan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 dikompensasikan terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d Desember 2015.
Sementara itu, perhitungan tarif PTKP pegawai seperti yang diatur dalam Peraturan DJP PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
  • Tarif PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
  • Kecuali, untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

PTKP Terbaru Per Bulan

PTKP terbaru per bulan untuk perhitungan PPh Pasal 21 terbaru sebagaimana yang dimaksud Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut:
  • Rp 3.000.000,- untuk diri wajib pajak orang pribadi;
  • Rp 250.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin, dan;
  • Rp 250.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 untuk setiap keluarga. 

PTKP Terbaru Bagi Karyawati dan Karyawati Kawin

PTKP terbaru bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
  • Bagi karyawati kawin, tarif PTKP terbaru adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
  • Bagi karyawati tidak kawin, tarif PTKP terbaru adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
  • Bagi karyawati kawin yang suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan dan menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah (kecamatan), maka tarif PTKP terbaru adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

PTKP Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas

Bagi pegawai tidak tetep atau tenaga kerja lepas yang penghasilannya tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), maka berlaku ketentuan berikut ini:
  • Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,-
  • Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi Rp 300.000,- tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
  • Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 3.000.000,- maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
  • Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.  
  • PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
  • PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun Rp 36.000.000,- dibagi 360 hari.  
  • Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan atau tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 152/ PMK.010/2015 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan:
  1. Penghasilan yang kurang dari 300.000,- per hari tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
  2. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku dalam hal:
    1. Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 3.000.000,- sebulan; atau
    2. Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan
  3. Ketentuan pada pasal 1 dan 2 tersebut tidak berlaku atas:
    1. Penghasilan berupa honorarium
    2. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

PPh Pasal 21 : Perhitungan PPh 21

Perhitungan PPh 21 Terbaru 

Menteri Keuangan mengubah peraturan mengenai tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diikuti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-32/PJ/2015. Penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
  • Rp 36.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 3.000.000,- per bulan untuk  wajib pajak orang pribadi. 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk wajib pajak yang kawin (tanpa tanggungan). 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.  
Adanya penyesuaian tarif PTKP tersebut, membuat perhitungan PPh 21 juga mengalami perubahan.

Perhitungan PPh 21 Karyawan  

Contoh perhitungan PPh 21 terbaru karyawan atau pegawai tetap adalah sebagai berikut:
Ika adalah karyawati pada perusahaan PT. Sinar Unggul dengan status menikah dan mempunyai tiga anak.  Suami Ika merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Ika menerima gaji Rp 3.000.000,- per bulan. PT. Sinar Unggul mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp 40.000,- per bulan. Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- per bulan, 
Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- sebulan, di samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Ika membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. 
Pada bulan Juli 2016 di samping menerima pembayaran gaji, Ika juga menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp 2.000.000,-. Perhitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016 adalah sebagai berikut:
Gaji 3.000.000,00
(i) Tunjangan Lainnya: lembur (overtime) 2.000.000,00
(ii) Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 1.00% 30.000,00
Premi Jaminan Kematian 0.30% 9.000,00
Penghasilan bruto 5.039.000,00
Pengurangan
1. Biaya Jabatan: 5% x 5.039.000,00 = 251.950,00 (iii) 251.950,00
2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) 2% dari gaji pokok 60.000,00
3. (iv) Iuran Pensiun (bila ada) 30.000,00
(341.950,00)
Penghasilan neto sebulan 4.697.050,00
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 4.697.050,00 56.364.600,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0) untuk WP sendiri 36.000.000,00
(36.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak setahun 20.364.600,00
(vii) Pembulatan 20.364.600,00
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)
5% x 50.000.000,00 1.018.200,00
PPh Pasal 21 bulan Juli = 1.018.200,00 : 12 84.850,00
*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 84.850,00 x 120% = Rp 101.820,00
Penjelasan:
Diasumsikan gaji pokok sebesar Rp 3.000.000,-.
(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur, akomodasi, komunikasi, dan tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya tunjangan tersebut dapat diberikan oleh perusahaan atau tidak, tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri.
(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% - 1.74% sesuai kelompok jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007.
(iii) Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,- sebulan, atau Rp 6.000.000,- setahun
(iv) Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang pendiriannya disahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk oleh perusahaan.
(v) Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari satu tahun) atau pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari tahun itu, maka penghasilan neto dikalikan 12 untuk memperoleh nilai penghasilan neto setahun, namun jika pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Mei misalkan, maka penghasilan neto setahun dikalikan 8 (diperoleh dari penghitungan bulan dalam setahun: Mei-Desember = 8 bulan). Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari.
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi penghasilan bruto, agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan dihitung sebagai objek pajak penghasilan milik wajib pajak. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015, terhitung 1 Januari 2015, PTKP yang berlaku adalah sebagai berikut:
  •     Untuk Wajib Pajak orang pribadi Rp 36.000.000,- per tahun. 
  •     Tambahan Wajib Pajak kawin Rp 3.000.00,- per tahun. 
  •     Tambahan untuk penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami Rp 3.000.000,- per tahun. 
  •     Tambahan untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan (max 3 orang) @ Rp 3.000.000,- per tahun.

Besarnya PTKP jika dilihat dari status perkawinan WP (TK = tidak kawin ; K = kawin) :
  •     TK/0 = Rp 36.000.000,- per tahun
  •     K/0 = Rp 39.000.000,- per tahun
  •     K/1 = Rp 42.000.000,- per tahun
  •     K/2 = Rp 45.000.000,- per tahun 
  •     K/3 = Rp 48.000.000,- per tahun
Pada contoh ini WP sudah menikah dan memiliki 3 tanggungan anak, namun karena suami WP menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP WP Ika adalah PTKP untuk dirinya sendiri (TK/0).
(vii) Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal ribuan penuh, atau 3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh: 56.901.200,00 menjadi 56.901.000,00.

Perhitungan PPh 21 Karyawan Yang Menerima Tunjangan Pajak

Contoh perhitungan PPh 21 karyawan atau pegawai tetap yang menerima tunjangan pajak dari perusahaan tempatnya bekerja adalah sebagai berikut:
Bila sebuah perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada pegawainya, maka tunjangan pajak  tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.
Contoh perhitungan PPh Pasal 21:
Edward bekerja pada PT. Kartika Kawashima yang berstatus belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan dengan memperoleh gaji sebesar Rp 4.500.000,- sebulan. Tunjangan pajak yang diberikan kepada Edward adalah sebesar Rp 25.000,-. Iuran pensiun yang dibayar oleh Edward adalah sebesar Rp 25.000,- sebulan. 
Perhitungan PPh Pasal 21 bulan September 2015 bagi Edward yang tidak menerima penghasilan lain dari PT. Kartika Kawashima selain gaji adalah:
Gaji 4.500.000,00
Tunjangan Pajak 25.000,00
Penghasilan bruto sebulan 4.525.000,00
Pengurangan
1. Biaya Jabatan: 5% x 4.525.000,00 = 226.250,00  226.250,00
2. Iuran Pensiun (bila ada) 25.000,00
(251.250,00)
Penghasilan neto sebulan 4.273.750,00
Penghasilan neto setahun 12 x 4.273.750,00 51.285.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0) untuk WP sendiri 36.000.000,00
(36.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak setahun 15.285.000,00
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)
5% x 15.285.000,00 764.250,00
PPh Pasal 21 bulan September = 764.250,00 : 12 63.688,00
*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 63.688,00 x 120% = Rp 76.425,00

Perhitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap Yang Menerima Penghasilan Tidak Berkesinambungan 

Contoh perhitungan PPh 21 pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan adalah sebagai berikut:
Nasrun adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp 5.000.000,-.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000,00
Bila Nasrun tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000,00
Penjelasan:
Karena Nasrun bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto berdasarkan peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,- adalah 5%

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 | PPh Pasal 22

Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

Pemungut dan Obyek PPh Pasal 22

Yang termasuk pemungut dan obyek pajak dalam hal ini adalah:
  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang;
  2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
  3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
  4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
  5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
    • PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero);
    • Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
  7. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
  8. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
  9. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; 
  10. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
  11. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
  12. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
    • mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
    • menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

Tarif PPh Pasal 22

  1. Atas impor :
    • yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
    • non-API = 7,5% x nilai impor;
    • yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
  2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
  3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
  4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
    • Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
  5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
  6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
  7. Atas penjualan
    • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
    • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
    • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
    • Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
    • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
  8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.

 

Pengecualian Pemungutan Pajak Berdasarkan PPh Pasal 22

  1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
  2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
    • yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan barang dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana mestinya;
    • sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;
    • berupa kiriman hadiah;
    • untuk tujuan keilmuan.
  3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
  4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.

Pengertian Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 23

Menurut situs Dirjen Pajak, Pajak Penghasilan pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak. Pihak yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal 23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa akan memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.

Pembayaran, Pelaporan dan Bukti Pemotong PPh Pasal 23

Pembayaran PPh Pasal 23
Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) dan membayarnya melalui Bank Persepsi yang ditunjuk Dirjen Pajak. Jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.
Pelaporan PPh Pasal 23
Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23, lalu melaporkannya kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana pihak pemotong terdaftar. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus memberikan Bukti Potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak tersebut, dan kepada Kantor Pelayanan Pajak (rangkap ke-2) saat melakukan pelaporan PPh Pasal 23.

Tarif dan Objek PPh Pasal 23


Tarif yang dikenakan nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%, tergantung dari objeknya. Berikut ini adalah daftar tarif dan objek PPh Pasal 23:
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas:
  1. Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan royalti;
  2. Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar jasa lainnya tersebut:
  1. Penilai (appraisal);
  2. Aktuaris;
  3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
  4. Hukum;
  5. Arsitektur;
  6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape
  7. Perancang (design);
  8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
  9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
  10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
  11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
  12. Penebangan hutan;
  13. Pengolahan limbah;
  14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
  15. Perantara dan/atau keagenan;
  16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
  17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
  18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
  19.  Mixing film;
  20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet, baliho dan folder;
  21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
  22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
  23. Internet termasuk sambungannya;
  24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
  25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; 
  26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
  28. Maklon;
  29. Penyelidikan dan keamanan;
  30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
  31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
  32. Pembasmian hama;
  33. Kebersihan atau cleaning service;
  34. Sedot septic tank;
  35. Pemeliharaan kolam;
  36. Katering atau tata boga;
  37.  Freight forwarding;
  38. Logistik;
  39. Pengurusan dokumen;
  40. Pengepakan;
  41. Loading dan unloading;
  42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
  43. Pengelolaan parkir;
  44. Penyondiran tanah;
  45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
  46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
  47. Pemeliharaan tanaman;
  48. Permanenan;
  49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan;
  50. Dekorasi;
  51. Pencetakan/penerbitan;
  52. Penerjemahan;
  53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  54. Pelayanan pelabuhan;
  55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
  56. Pengelolaan penitipan anak;
  57. Pelatihan dan/atau kursus;
  58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
  59. Sertifikasi;
  60. Survey;
  61. Tester;
  62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
4. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong ​100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
5. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
  • Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
  • Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur pembelian);
  • Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
  • Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
  • Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
  • Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final.

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24)

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) pada dasarnya adalah sebuah peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
  1. pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya;
  2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda bergerak;
  3. penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak bergerak;
  4. penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri;
  6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan;
  7. keuntungan dari pengalihan aset tetap;
  8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.

Pengertian PPh Pasal 25


Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban Wajib Pajak, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan.

Perhitungan PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
  • Pajak penghasilan yang dipotong sesuai pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat (1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah - serta 2% berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) - serta pajak penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
  • Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

Tarif PPh Pasal 25


Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
  • Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa – dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
  • Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
  • Sampai Rp 50.000.000 = 5%
  • Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
  • Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
  • Di atas Rp 500.000.000 = 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan yaitu = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15 Maret 2014. Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.80/PMK.03/2010.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008, pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya.

Sanksi-sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25

Apabila Wajib Pajak (WP) terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)

Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai wajib pajak luar negeri, adalah:
  • seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  • seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)

Tarif 20% (final) atas jumlah bruto dari:
  1. Dividen
  2. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran pinjaman
  3. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
  4. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  5. Hadiah dan penghargaan
  6. Pensiun dan pembayaran berkala
  7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya
  8. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
  1. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia
  2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal sebagai JGI Penghindaran Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian, mungkin berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya mengurangi tingkat dari tarif biasa 20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.





Sumber : http://www.online-pajak.com


 


HUKUM PERPAJAKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

A. Definisi pajak
Menurut Prof.Dr. Rachmat Soemitro, S.H. pajak adalah iuran rakyat kepada Negara yang berdasarkan undang-undang, tidak mendapat timbal balik yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi lain dari pajak sendiri adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan sebagai public saving yang merupakan sumber utama untuk pembiayaan public investment.
Apabila dilihat dari sisi propektif ekonomi maka pajak adalah beralihnya sumber daya dari sector privat kepada sector public yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan individu dalam kepentingan menguasai sumber daya dan bertambahnya kemampuan keuangan Negara dalam penyediaan barang dan jasa public yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan pengertian pajak di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pajak mempunyai beberapa cirri-ciri utama yaitu pajak dipungut dan diatur oleh undang-undang sebagai pedoman pelaksanaanya, pajak tidak menghasilkan kontraprestasi (imbalan) langsung bagi individu yang membayarkannya, pajak dipungut oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, pajak digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan pengeluaran pemerintah dalam melaksanakan kegiatannya dan apabila ada surplus digunakan sebagai public investment.

CIRI - CIRI PAJAK
a. Dipungut oleh negara, berdasarkan UU dan peraturan
b. Dalam pembayaran tidak dapat ditujukan adanya kontra prestasi individu dari pemerintah
c. digunakan untuk membiayai pengeluaran - pengeluaran pemerintah. Kalau lebih sebagai publik invesment
d. Di pungut keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang

Sumber - sumber penerimaan negara selain pajak :
a. Keuntungan perusahaan negara BUMN, BUMD
b. Penghasilan barang- barang milik negara, bumi, air dan kekayaan alam
c. Penghasilan saham - saham yang dimiliki oleh negara
d. Penghasilan denda/ sitaan
e. Hibah/sumbangan
f. Hak waris harta terlantar

Macam - macam pungutan di indonesia
Pungutan
1. Pajak
a. pusat
b. Daerah a). dari kantor pusat b). daerah asli
2. Bea dan Cukai
a. Bea a). Pusat b).Daerah
b. Cukai
3. Lain-lain
a. Retribusi
b. Iuran
c. Lain-lain

FUNGSI PAJAK
1. Budgetaer ( anggaran)
2. Reguler (mengatur)
a. Ekonomi
b. sosial
c. Kebudayaan
3. Sosial

KEDUDUKAN HUKUM PAJAK
1. Hukum Privat
a. Perdata
b. Dagang
2. Hukum Publik
a. H. Tata Negara
b. H. Adm Negara
c. H. Pidata
d. H. Pajak

AZAS - AZAS HUKUM PAJAK
Azas-azas hukum pajak:
1. Falsafah Hukum
a. T. asuransi
b. T. Kepentingan
c. T. Gaya Pikul
d. T. Daya Beli
2. Yuridis
3. Ekonomis
4. Finansial

Hukum Pajak :
1. Materiil :
Norma-norma : keadaan, perbuatan, peristiwa hukum (objek). siapa yang dikenakan pajak (subjek). Berapa besar pajak (tarif), serta sesuatu yang timbul dan hapus hutang pajak hubunganya antara pemerintah dan WP
Contoh ; Undang - undang Pajak Penghasilan
2. Formil :
- Tata cara prosedur penetapan hutang pajak
- Hak - hak fiskus
- Kewajiban WP

Pengelompokan pajak
1. Menurut Golongannya
a. Pajak langsung : pajak dipikul sendiri WP, pajak penghasilan
b. pajak tidak langsung : pajak yang dilimpahkan pada orang lain (PPN)
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subyektif
b. objektif
3. Menurut lembaga yang pemungut
a. Pajak pusat
b. pajak daerah 
4.Tarif Tetap
Dalam tarif ini jumlah yang tetap sama besarnya.
5.Tarif Degresif 
Tarif degrasif adalah tarif pajak yang dengan presentase semakin menurun, jika dasar pengenaan pajaknya semakin besar.
6.Tarif Proporsional 
Tarif proporsional adalah tarif pajak dengan presentase tetap. Dengan demikian, semakin besar dasar pengenaan pajaknya, semakin besar pula jumlah utang pajak yang harus dibayar, namun presentasenya tetap sama. 
7.Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pajak dengan presentase semakin besar, jikaa dasar pengenaan pajaknya semakin besar. Pengenaan tarif pajak progresif terutama ditujukan kepada pihak subjektif.

 

KONSEP DASAR DAN TATA CARA PENGHITUNGAN PPh POTONGAN/PUNGUTAN

DASAR PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN
Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentu Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan)                      = penghasilan netto
Penghasilan Kena Pajak (WP Ornag Pribadi           = penghasilan netto-PTKP


Perubahan besarnya nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2015 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, membuat penghitungan pajak juga berubah. Berikut ini adalah ketentuan Dasar Pengenaan Pajak, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru, Penghasilan Kena Pajak dan Tarif Pajak terbaru.
  
A. Pengertian PPh Pasal 21 
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
Tarif PTKP terbaru selama setahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
  • Rp 36.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi dan istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. 
  • Rp 3.000.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  • Rp 3.000.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 rang untuk setiap keluarga.

PTKP Terbaru Berlaku Sejak 2015 

Berdasarkan Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak, meskipun diundangkan pada tanggal 29 Juni 2015, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mulai berlaku sejak tahun pajak 2015, sehingga menimbulkan konsekuensi sebagai berikut:
  1. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP terbaru.
  2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP terbaru.
Kelebihan setor akibat pembetulan perhitungan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 dikompensasikan terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d Desember 2015.
Sementara itu, perhitungan tarif PTKP pegawai seperti yang diatur dalam Peraturan DJP PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
  • Tarif PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
  • Kecuali, untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

PTKP Terbaru Per Bulan

PTKP terbaru per bulan untuk perhitungan PPh Pasal 21 terbaru sebagaimana yang dimaksud Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut:
  • Rp 3.000.000,- untuk diri wajib pajak orang pribadi;
  • Rp 250.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin, dan;
  • Rp 250.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 untuk setiap keluarga. 

PTKP Terbaru Bagi Karyawati dan Karyawati Kawin

PTKP terbaru bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
  • Bagi karyawati kawin, tarif PTKP terbaru adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
  • Bagi karyawati tidak kawin, tarif PTKP terbaru adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
  • Bagi karyawati kawin yang suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan dan menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah (kecamatan), maka tarif PTKP terbaru adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

PTKP Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas

Bagi pegawai tidak tetep atau tenaga kerja lepas yang penghasilannya tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), maka berlaku ketentuan berikut ini:
  • Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,-
  • Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi Rp 300.000,- tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
  • Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 3.000.000,- maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
  • Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.  
  • PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
  • PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun Rp 36.000.000,- dibagi 360 hari.  
  • Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan atau tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 152/ PMK.010/2015 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan:
  1. Penghasilan yang kurang dari 300.000,- per hari tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
  2. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku dalam hal:
    1. Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 3.000.000,- sebulan; atau
    2. Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan
  3. Ketentuan pada pasal 1 dan 2 tersebut tidak berlaku atas:
    1. Penghasilan berupa honorarium
    2. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

PPh Pasal 21 : Perhitungan PPh 21

Perhitungan PPh 21 Terbaru 

Menteri Keuangan mengubah peraturan mengenai tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diikuti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-32/PJ/2015. Penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
  • Rp 36.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 3.000.000,- per bulan untuk  wajib pajak orang pribadi. 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk wajib pajak yang kawin (tanpa tanggungan). 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.  
Adanya penyesuaian tarif PTKP tersebut, membuat perhitungan PPh 21 juga mengalami perubahan.

Perhitungan PPh 21 Karyawan  

Contoh perhitungan PPh 21 terbaru karyawan atau pegawai tetap adalah sebagai berikut:
Ika adalah karyawati pada perusahaan PT. Sinar Unggul dengan status menikah dan mempunyai tiga anak.  Suami Ika merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Ika menerima gaji Rp 3.000.000,- per bulan. PT. Sinar Unggul mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp 40.000,- per bulan. Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- per bulan, 
Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- sebulan, di samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Ika membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. 
Pada bulan Juli 2016 di samping menerima pembayaran gaji, Ika juga menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp 2.000.000,-. Perhitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016 adalah sebagai berikut:
Gaji 3.000.000,00
(i) Tunjangan Lainnya: lembur (overtime) 2.000.000,00
(ii) Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 1.00% 30.000,00
Premi Jaminan Kematian 0.30% 9.000,00
Penghasilan bruto 5.039.000,00
Pengurangan
1. Biaya Jabatan: 5% x 5.039.000,00 = 251.950,00 (iii) 251.950,00
2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) 2% dari gaji pokok 60.000,00
3. (iv) Iuran Pensiun (bila ada) 30.000,00
(341.950,00)
Penghasilan neto sebulan 4.697.050,00
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 4.697.050,00 56.364.600,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0) untuk WP sendiri 36.000.000,00
(36.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak setahun 20.364.600,00
(vii) Pembulatan 20.364.600,00
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)
5% x 50.000.000,00 1.018.200,00
PPh Pasal 21 bulan Juli = 1.018.200,00 : 12 84.850,00
*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 84.850,00 x 120% = Rp 101.820,00
Penjelasan:
Diasumsikan gaji pokok sebesar Rp 3.000.000,-.
(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur, akomodasi, komunikasi, dan tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya tunjangan tersebut dapat diberikan oleh perusahaan atau tidak, tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri.
(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% - 1.74% sesuai kelompok jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007.
(iii) Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,- sebulan, atau Rp 6.000.000,- setahun
(iv) Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang pendiriannya disahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk oleh perusahaan.
(v) Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari satu tahun) atau pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari tahun itu, maka penghasilan neto dikalikan 12 untuk memperoleh nilai penghasilan neto setahun, namun jika pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Mei misalkan, maka penghasilan neto setahun dikalikan 8 (diperoleh dari penghitungan bulan dalam setahun: Mei-Desember = 8 bulan). Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari.
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi penghasilan bruto, agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan dihitung sebagai objek pajak penghasilan milik wajib pajak. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015, terhitung 1 Januari 2015, PTKP yang berlaku adalah sebagai berikut:
  •     Untuk Wajib Pajak orang pribadi Rp 36.000.000,- per tahun. 
  •     Tambahan Wajib Pajak kawin Rp 3.000.00,- per tahun. 
  •     Tambahan untuk penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami Rp 3.000.000,- per tahun. 
  •     Tambahan untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan (max 3 orang) @ Rp 3.000.000,- per tahun.

Besarnya PTKP jika dilihat dari status perkawinan WP (TK = tidak kawin ; K = kawin) :
  •     TK/0 = Rp 36.000.000,- per tahun
  •     K/0 = Rp 39.000.000,- per tahun
  •     K/1 = Rp 42.000.000,- per tahun
  •     K/2 = Rp 45.000.000,- per tahun 
  •     K/3 = Rp 48.000.000,- per tahun
Pada contoh ini WP sudah menikah dan memiliki 3 tanggungan anak, namun karena suami WP menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP WP Ika adalah PTKP untuk dirinya sendiri (TK/0).
(vii) Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal ribuan penuh, atau 3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh: 56.901.200,00 menjadi 56.901.000,00.

Perhitungan PPh 21 Karyawan Yang Menerima Tunjangan Pajak

Contoh perhitungan PPh 21 karyawan atau pegawai tetap yang menerima tunjangan pajak dari perusahaan tempatnya bekerja adalah sebagai berikut:
Bila sebuah perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada pegawainya, maka tunjangan pajak  tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.
Contoh perhitungan PPh Pasal 21:
Edward bekerja pada PT. Kartika Kawashima yang berstatus belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan dengan memperoleh gaji sebesar Rp 4.500.000,- sebulan. Tunjangan pajak yang diberikan kepada Edward adalah sebesar Rp 25.000,-. Iuran pensiun yang dibayar oleh Edward adalah sebesar Rp 25.000,- sebulan. 
Perhitungan PPh Pasal 21 bulan September 2015 bagi Edward yang tidak menerima penghasilan lain dari PT. Kartika Kawashima selain gaji adalah:
Gaji 4.500.000,00
Tunjangan Pajak 25.000,00
Penghasilan bruto sebulan 4.525.000,00
Pengurangan
1. Biaya Jabatan: 5% x 4.525.000,00 = 226.250,00  226.250,00
2. Iuran Pensiun (bila ada) 25.000,00
(251.250,00)
Penghasilan neto sebulan 4.273.750,00
Penghasilan neto setahun 12 x 4.273.750,00 51.285.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0) untuk WP sendiri 36.000.000,00
(36.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak setahun 15.285.000,00
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)
5% x 15.285.000,00 764.250,00
PPh Pasal 21 bulan September = 764.250,00 : 12 63.688,00
*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 63.688,00 x 120% = Rp 76.425,00

Perhitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap Yang Menerima Penghasilan Tidak Berkesinambungan 

Contoh perhitungan PPh 21 pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan adalah sebagai berikut:
Nasrun adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp 5.000.000,-.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000,00
Bila Nasrun tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000,00
Penjelasan:
Karena Nasrun bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto berdasarkan peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,- adalah 5%.

A. Pajak Penghasilan Pasal 22 
1.  Pengertian 
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang atau badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Pajak Penghasilan Pasal 22 dibayar dalam tahun berjalan melalui pemungutan oleh pihak tertentu dan pemungutan PPh Pasal 22 bersifat final dan tidak final. 
2.      Pemungut Pajak 
Pemungut pajak berdasar Peraturan Menteri Keuangan No 154/PWK.03/2010, pemungut PPh Pasal 22 adalah : 
  • Bank Devisa dan Dirjen Bea Cukai, atas impor barang 
  • Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah, yang melakukan atas pembeliaan barang. 
  • Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dananya dari belanja Negara dan atau belanja daerah, kecuali badan-badan tersebut pada butir 4. 
  • Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT TELKOM, PLN,PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Stell, dan BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non APBN. 
  • Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksi di dalam negeri. 
3.      Obyek Pemungutan Pajak 
Yang merupakan obyek Pemungutan PPh pasal 22 adalah: 
  • Impor Barang
  • Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Dirjen Anggaran, Bendaharawan pemerintah baik ditingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah.
  • Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh BUMN dan BUMD  yang dananya dari belanja Negara dan atau belanja daerah. 
  • Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha lain selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
  •  Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau ekspor industry dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpul. 
Dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah:
Impor barang 
Impor barang yang dibebaskan dari Bea masuk :
a.       Barang dari perwakilan Negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik.b.      Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau kebudayaan. 
c.       Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan alam. 
d.      Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah
e.       Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN)

B. Pajak Penghasilan Pasal 23 
1.      Pengertian
Dalam ketentuan umum pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan seubjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 

2.      Pemotongan PPh Pasal 23 
Pemotongan PPh pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayar pengahsilan, ynag terdiri atas :
·         Badan Pemerintah. 
·         Subjek Pajak badan dalam negeri.
 ·          Penyelanggara kegiatan.
·         Bentuk usaha tetap. 
·         Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 
·         Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjuk dari Direktur Jenderal pajak untuk menotong Pajak PPh Pasal 23, yang meliputi:
a.       Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaries, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali PPAT  tersebut adalah Camat, Pengacara dan Konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.  
b.      Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelanggarakan pembukuan. 

3.      Objek Pemotongan PPh pasal 23
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23 adalah:
  • Dividen, dengan nama  dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuaransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
  • Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
  • Royalti 
  • Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21. 
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
  • Imbalan sehunbungan dengan jasa teknik, jasa manajeman, jasa kontruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 
4.      Pengecualian Objek Pemotongan PPh pasal 23 
Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah:
  • Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank.
  • Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
  • Dividen atau bagian laba  yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas (PT) sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaka milik Negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
  • Dividen yang diterima oleh orang pribadi.
  • Bagian laba yang diterima atau diperolah anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
  • Sisa hasil usaha kopersi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota.
  • Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
C. Pajak Penghasilan Pasal 24 
1.      Pengertian 
PPh Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak yang sama.

2.      Penentuan Sumber Penghasilan untuk Menghitung Maksimum PPh Pasal 24 sebagai Kredit Pajak Luar Negeri 
  • Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya 
  • Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
  • Penghasilan berupa imbalan 
  • Penghasilan bentuk usaha 
  • Penghasilan karena pengalihan harta tetap
  • Keuntungan karena pengalihan 
3.      Ketentuan Pelaksana PPh Pasal 24 sebagai Kredit Pajak Luar Negeri 
  • PPh atas seluruh penghasilan
  • Penggabungan penghasilan
  • Kerugian
  • PPh Pasal 24 dapat dikreditkan, terhadap PPh yang terutang di Indonesia
  • Jumlah kredit pajak
  • Jumlah tertentu 
  • Kredit pajak untuk masing-masing Negara 
  • PKP tidak termasuk penghasilan yang dikenakan PPh final
  • Jumlah pajak yang dibayar di luar negeri melebihi yang diperkenankan 
  • Permohonan kredit pajak luar negeri 
  • Perpanjangan jangka waktu penyampaian lampiran permohonan
  • Perubahan penghasilan dari luar negeri dengan pembetulan SPT 
  • Pembetulan SPT kurang bayar tidak dikenakan sanksi bunga 
  • Pembetulan SPT lebih bayar kompensasi dengan utang pajak
D, Pajak Penghasilan Pasal 25 
1.      Pengertian  
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat. 

2.      Subjek Pajak Badan 
Subjek Pajak Badan merupakan perusahaan dengan penghasilan yang telah melebihi Penghasilan Kena Pajak (PKP), yang perhitungan pemungutan pajaknya telah ditetapkan dengan Undang-Undang, dan Wajib Pajak nya harus mematuhi peraturan, yang wajib dan memaksa, tanpa dikenakan imbalan secara langsung. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Subyek Pajak Badan dibedakan menjadi:
- Subyek Pajak Dalam Negeri 
Merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, menerima penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia, dengan peraturan dan tata cara perpajakan yang disahkan di Indonesia. Dan wajib menyampaikan SPT tahunan. 
- Subyek Pajak Badan Luar Negeri
Merupakan perusahaan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, menerima penghasilan dari Indonesia dengan peraturan dan tata cara perpajakan yang disahkan di Indonesia, dengan perjanjian dengan negara asal Perusahaan tersebut. 

E.     Pajak Penghasilan Pasal 26 
1.      Pengertian
PPh pasal 26 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima  atau diperoleh WP luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. 

2.      Subjek Pajak PPh Pasal 26  
  • Orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dalam bentuk apa pun.
  • Sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. 
  • Dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan 
  • Jasa atau kegitan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai
  • Penerima pensiun. 
3.      Tarif, Objek Pajak dan Sifat Pengenaanya 
Dikelompokan menjadi 3 bagian yaitu : 
a.       Sebesar 20% dari jumlah bruto penghasilan yang diterima/ diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dan bersifat final atas penghasilan berupa;
  • Deviden 
  • Bunga (premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan aminan pengembalian utang) 
  • Royalt, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
  • Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau kegiatan. 
  • Hadiah dan penghargaan 
  • Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
  • Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya 
  • Keuntungan dengan pembebasan utang. 
b.      Sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto, dan bersifat final atas penghasilan atas;
  • Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan yang pengenaan pajaknya di atur dalam peraturan pemerintah seperti : bunga deposito dan tabungan lainnya, pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, transaksi, saham dan sekuritas lainnya di bursa efek dan penghasilan tertentu lainnya.
  • Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuaransi luar negeri 
c.       Sebesar 20% bersifat final dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak dipotong PPh Pasal 26
F.      Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2
1.      Pengertian 
Pajak yang sifatnya pemungutan final. Yang dimaksud final disini yaitu pajak yang dipotong oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan terhadap utang pajak pada akhir tahun penghitungan pajak penghasilan pada surat pemberitahuan tahunan. Contoh penghasilan yang dikenakan PPh final adalah bunga deposito, penjualan tanah dan banguanan, persewaan tanah fan banguanan, hadiah undian, bunga obligasi dan lain-lain. 

2.      Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2
PPh terutang dihitung dengan menerapkan tarif tertentu (tarif tunggal) terhadap penghasilan bruto dan bersifat final. Adapun besarnya PPh terutang untuk masing-masing jenis penghasilan adalah sebeagai berikut :
  • Bunga tabungan, deposito, sertifikat Bank Indonesia
  • PPh terutang = 20% x jumlah bruto
  • Penghasilan saham di bursa efek
  • PPh terutang = 0,1% x penghasilan bruto
  • Sewa tanah dan bangunan
  • PPh terutang = 10% x penghasilan bruto
  • Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
  • PPh terutang = 5% x penghasilan bruto
  • Penjualan saham perusahaan modal ventura
  • PPh terutang = 0,1% x penghasilan bruto
  • Bunga/diskonto obligasi di Bursa Efek
  • PPh terutang = 20% x jumlah bruto atau selisih harga jual
  • Hadiah undian
  • PPh terutang = 25% x penghasilan bruto/pasar
  • Bunga simpanan koperasi kepada anggota lebih dari Rp 240.000 per bulan
PPh terutang = 10% x penghasilan bruto





Sumber : http://www.online-pajak.com - http://pratiiwi.blogspot.co.id/2012/02/konsep-dasar-dan-tata-cara-penghitungan.html